Pajak merupakan saka guru ekonomi sebuah negara. Dengan pajak, negara dapat menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan publik. Tanpa pajak, bisa dipastikan keuangan negara defisit dan perkembangan negara tersendat-sendat. Banyak kasus, ketika banyak warga negara yang tidak taat pajak atau ada indikasi penggelapan pajak dalam waktu yang lama, kondisi keuangan negara mengalami penurunan.
Inilah yang mendorong Pemerintah untuk bekerja keras dalam meningkatkan dan menjaga pendapatan negara dari sektor pajak. Salah satu kebijakan Pemerintah yang populer belakangan ini adalah Tax Amnest
Banyaknya Wajib Pajak yang tidak taat aturan dalam membayar pajak membuat Pemerintah berusaha keras agar Negara tidak dirugikan. Bahkan, kabarnya sekitar 56% dari total simpanan di perbankan Singapura adalah harta kekayaan Warga Negara Indonesia (WNI). Tentu saja ini merupakan potensi pendapatan pajak yang masif. Persoalan itulah yang kemudian mendorong Pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty atau pengampunan pajak.
Tax Amnesty merupakan solusi yang ditawarkan Pemerintah kepada Wajib Pajak yang tidak taat aturan agar mau memberitahukan secara terus terang seluruh kekayaan yang mestinya dilaporkan sebagai objek pajak kepada petugas pajak. Harapannya, selain mendapatkan pemasukan dari pajak yang terutang, juga meningkatkan jumlah Wajib Pajak besar baru yang tentu saja dampaknya langsung pada perekonomian nasional.
Dari sekian jenis pajak yang tak dibayarkan sepenuhnya, tak menutup kemungkinan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah salah satunya. PPh Pasal 22 merupakan pajak penghasilan yang dibebankan pada badan usaha tertentu, baik milik Pemerintah (BUMN) maupun swasta, yang melakukan kegiatan perdagangan terkait dengan ekspor, impor, ataupun re-impor. Tarif untuk pajak jenis ini bervariasi dan bergantung dari pemungut serta objek dan jenis transaksinya.
Penjelasan Detail PPh Pasal 22 dan Perbedaannya dengan Pph Lain
Berdasarkan Undang-Undang, PPh tak hanya Pph Pasal 22 saja, tetapi juga ada PPh 21 dan Pph 23. PPh Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik Pemerintah maupun swasta, yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor.
Bedanya dengan PPh lain, objek pajak pada PPh 22 sangat bervariasi, termasuk juga dengan objek kena pajaknya yang beragam. Sementara untuk PPh Pasal 21, yang menjadi objek pajaknya adalah gaji, honorarium, upah, ataupun tunjangan dan penerimaan apa pun yang terkait dengan jabatan atau pemberian jasa. Sementara pada PPh Pasal 23, objek pajaknya adalah modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan selain yang terkena potongan PPh Pasal 21.
Subjek Pajak, Objek Pajak, dan Pemungut PPh Pasal 22
Landasan hukum PPh Pasal 22 adalah UU No. 36 Tahun 2008. Undang-undang menyebutkan objek pajak PPh Pasal 22 adalah barang yang dianggap “menguntungkan”. Menguntungkan di sini maksudnya adalah baik penjual maupun pembeli sama-sama bisa mengambil keuntungan dari transaksi perdagangan tersebut. Secara spesifik, subjek pajak PPh Pasal 22 meliputi Badan Usaha (industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi), Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), produsen atau importir bahan bakar minyak, badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja, dan pedagang pengumpul (pengumpul hasil hutan, perkebunan, pertanian, dsb).
Selain itu, penjualan barang mewah, seperti pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000, penjualan kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000, dan penjualan rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000, juga dikenakan PPh Pasal 22 ini.
Yang berwenang menjadi pemungut PPh Pasal 22 adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Bank Devisa yang mengurusi pemungutan PPh Pasal 22 untuk objek pajak terkait impor serta Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Dan Bendahara Pemerintah yang melakukan pemungutan PPh Pasal 22 pada Pemerintah, baik pusat maupun daerah, instansi, serta lembaga negara lainnya, terkait dengan pembayaran serta pembelian barang. Dari penjelasan tersebut, bisa diketahui bahwa PPh Pasal 22 memiliki subjek dan objek pajak yang beragam yang telah ditentukan Pemerintah sebagaimana dalam penjelasan tadi.
Mengingat bervariasinya objek pajak PPh Pasal 22, perlu dipahami secara mendalam penentuan tarif dan besaran tarifnya. Berikut adalah besaran tarif serta penghitungan tarif PPh Pasal 22.
1. Untuk Impor
Jika menggunakan Angka Pengenal Importir (API), tarif yang dikenakan adalah 2,5% x nilai impor. Sementara untuk non-API, tarifnya sama dengan 7,5% x nilai impor dan untuk impor yang tidak dikuasai dikenakan tarif 7,5% x harga jual lelang.
2. Untuk Pembelian Barang
Jika pembelian barang dilakukan Bendahara Pemerintah, DJPB, dan BUMN/BUMD, tarif yang dikenakan adalah 1,5% x harga pembelian belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan tidak final.
3. Untuk Penjualan Hasil Produksi
Sebagaimana ditetapkan lewat Keputusan Direktur Jenderal Pajak, barang yang kena Pajak PPh Pasal 22 meliputi: semen (tarif 0,25% x DPP PPN), kertas (tarif 0,1% x DPP PPN), produk baja (0,3% x DPP PPN), dan produk otomotif (0,45% x DPP PPN). Semua tarif tersebut bersifat tidak final.
4. Untuk Pembelian Bahan-Bahan Untuk Keperluan Industri
Jenis ini juga dikenakan kepada eksportir dan pedagang pengumpul dengan tarif 0,25 % x harga pembelian dan ini tidak termasuk PPN.
5. Untuk impor kedelai, gandum, dan tepung terigu
Jika menggunakan API, tarif yang dikenakan sebesar 0,5% x nilai impor.
Pengecualian terhadap Pemungutan PPh Pasal 22
Besarnya lingkup objek pajak yang diatur dalam PPh Pasal 22 menyisakan beberapa pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22, yaitu:
Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh berdasarkan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak.
Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk termasuk impor yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE).
Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan pada belanja negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp2.000.000 (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah).
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos, dan telepon.
Ilustrasi Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 22 dan PPN oleh Bendahara Pemerintah
Agar lebih paham, berikut ini ilustrasi besarnya pungutan dan kewajiban pemungut dalam aplikasi PPh Pasal 22 ini.
Pada 20 Februari 2015, Bendahara membeli 4 (empat) printer dari PT Super Komputindo (NPWP/NPPKP 01.222.355.5-063.000) dengan harga beli Rp22.000.000 (harga termasuk PPN).
Besarnya pemungutan pajak atas pembelian printer tersebut adalah:
Pemungutan PPh
Harga pembelian = 22.000.000
Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000 (100/110 X 22.000.000)
PPh Pasal 22 (1,5% x 20.000.000) = 300.000
Pemungutan PPN:
Dasar Pengenaan Pajak = 20.000.000
PPN (10% x 20.000.000) = 2.000.000
Kewajiban Bendahara
Melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib Pajak PT Super Komputerindo.
Menyetorkan PPh Pasal 22 dan PPN.
Cermati dan Pahami PPh Pasal 22 untuk Memastikan
PPh Pasal 22 diberlakukan pada banyak subjek pajak, baik milik pemerintah maupun swasta, yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor. Pemberlakuan bahkan meluas sampai ke perdagangan barang yang dianggap "menguntungkan’. Sebab PPh Pasal 22 dapat dikenakan saat penjualan ataupun pembelian. Adalah perlu untuk mencermati dan memahami sepenuhnya segala hal terkait PPh Pasal 22. Dengan begitu, bisa diketahui dengan pasti apakah badan usaha Anda masuk sebagai subjek pajak. Dan transaksi pembelian yang Anda atau badan usaha Anda dikategorikan sebagai objek pajak PPh Pasal 22 atau tidak.
sumber : cermati
Lebih lengkapnya silahkan klik : Saham Online
Komentar
Posting Komentar