Senyum mengembang selalu nampak di raut wajah Siti Badriyah. Perempuan berhijab asal Jawa Tengah itu sudah tinggal di kawasan perbatasan Papua sejak umur 7 tahun. Ia membuka usaha makanan dan kopi keliling di tapal batas Indonesia dengan Papua Nugini.
Kalau di Jakarta, mungkin banyak yang menyebut profesi seperti Siti dengan sebutan 'starling', plesetan dari kata Starbucks keliling. Walau hanya berprofesi sebagai starling, bisa dibilang Siti cukup sukses di sana. Bayangkan, omzetnya saja mencapai Rp 2 juta per hari. Kalau dikalikan sebulan berarti puluhan juta omzetnya.
Siti bercerita bagaimana awalnya dia bisa tinggal di wilayah perbatasan hingga mencari nafkah di sana. Sejak tahun 1982, Siti mengaku orang tuanya mengikuti program transmigrasi. Karenanya, mau tak mau Siti juga ikut kedua orang tuanya hijrah dari kampung halamannya Banyuwangi ke Papua.
Bukan hal yang buruk menurutnya tinggal di kawasan tapal batas. Sebab, selain kondisinya yang juga tentram saat ini, roda ekonomi di wilayah perbatasan juga sudah tumbuh pesat. Oleh sebab itu, Siti memutuskan untuk tumbuh besar dan berkeluarga di sana. Wilayah tapal batas juga menjadi tempat bagi Siti untuk meraup rezeki.
"Perputaran uang di sini lebih bagus dibanding kampung saya di Jawa. Di sini penghasilannya lebih bagus," cerita Siti kepada detikFinance beberapa waktu lalu.
Menurut Siti, pesatnya perputaran uang di wilayah tersebut tak lepas dari adanya pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw. Seiring dengan PLBN yang telah berdiri dengan mewah nan megah, kegiatan ekonomi juga terus berkembang di sana.
Pasalnya, dua tahun yang lalu, sebelum PLBN diresmikan seperti sekarang ini pendapatan Siti paling-paling hanya Rp 1 juta per hari. Namun sekarang siti bisa meraup omzet dari jualan starling hingga Rp 2 juta sekali, meningkat 2 kali lipat. Omzetnya itu belum termasuk dari warung makan yang dimiliki Siti di kawasan Pasar Skouw.
Namun Siti malu-malu untuk menyebutkan berapa total omzet atau pendapatan dari semua usahanya itu. Siti cuma bilang, yang penting bisa untuk beli rumah, kendaraan, dan menguliahkan anak-anaknya.
"Itu nggak sampai sehari, paling jam dua sudah pulang, alhamdulillah sudah habis. Yang penting cukup untuk keluarga," katanya.
Tak heran, pelanggan yang dimiliki Siti bukan hanya orang-orang Indonesia, tapi juga orang-orang dari negara sebelah, Papua Nugini. Karenanya, Siti pun melayani pembayaran baik dengan rupiah dan kina, mata uang Papua Nugini. Penggunaan kina sendiri agar membuat usaha yang dijalani Siti jadi lebih fleksibel.
Siti menjual kopinya seharga Rp 10 ribu untuk orang Indonesia dan 3 kina untuk Papua Nugini. Sementara untuk nasi dengan beragam lauk seperti ayam, ikan, serta telur, dihargai sekitar Rp 20.000 dan 5 kina. Asal tahu saja, 1 kina kira-kira senilai Rp 3.500-4.000, tergantung dari nilai kurs saat itu juga.
"Kalau orang kita (Indonesia) pakai rupiah, kalau PNG (Papua Nugini) kina. Daripada diutang, kita kalau ngejar orang (Papua Nugini) nggak kenal," kata Siti dengan gaya bicara khas Papua bercampur logat Jawa.
Walau menggunakan kina, namun Siti tak khawatir untuk menukarkan uangnya ke rupiah. Sebab, di perbatasan tersebut juga tersedia layanan perbankan money changer yang hanya disediakan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI. Biasanya, setelah selesai berdagang, Siti yang juga nasabah BRI itu mampir ke money changer tersebut untuk menukar kina ke rupiah.
"Saya nasabah BRI saja di sini. Terbantu kalau ada BRI. Kan sekarang kalau setor tunai juga bisa di sana," tutur Siti.
Lebih dari itu, Siti berharap agar pemerintah bisa terus melakukan pembangunan di wilayah perbatasan. Sebab, warga di tapal batas ini ikut merasakan manfaatnya bila ada pembangunan-pembangunan baru di beranda Indonesia.
"Sekarang saja sudah alhamdulillah sudah bagus semua, sekarang juga kan lagi dibangun jembatan Holtekamp itu, kalau dibangun-bangun terus ya kita warga sini pasti senang," kata Siti.
sumber : detik.com
Lebih lengkapnya silahkan klik : Saham Online
Komentar
Posting Komentar