Harga saham PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) terkoreksi 2,67% menjadi Rp 6.425 per saham dalam tiga hari perdagangan terakhir sampai dengan Selasa (18/1). Meskipun begitu, secara year to date, harga saham INDF masih tercatat naik 1,58%.
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Okie Ardiastama menilai, penurunan harga yang terjadi pada INDF dalam beberapa hari terakhir seiring dengan adanya sentimen negatif berupa kenaikan kasus Covid-19 varian Omicron dan potensi pelemahan kurs rupiah. Kondisi ini membuat pelaku pasar mencermati progres pemulihan konsumsi yang pada umumnya memengaruhi bisnis emiten barang konsumsi.
Meskipun begitu, Okie meyakini, INDF akan mampu bertahan di tengah ancaman-ancaman tersebut. Menurut dia, kinerja INDF masih akan ditopang oleh anak usahanya yang bergerak di sektor perkebunan sawit, yakni PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP).
"Kenaikan dari harga crude palm oil (CPO) dan kekuatan pada pasar domestik menjadi kontributor pada pendapatan INDF," kata Okie kepada Kontan.co.id, Selasa (18/1).
INDF juga dinilai memiliki merek yang cukup kuat sehingga dengan strategi yang tepat, dia meyakini bisnis Indofood Group masih dapat bertumbuh di tahun 2022. Untuk itu, Okie merekomendasikan beli INDF dengan target harga Rp 7.075 per saham.
Kontribusi dominan sektor perkebunan terhadap performa INDF terlihat dari laporan keuangan sembilan bulan pertama 2021. Dalam riset tanggal 3 Desember 2021, Analis BRI Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto menjabarkan, pendapatan INDF per September 2021 meningkat 24% secara year on year (yoy) menjadi Rp 72,81 triliun.
Lini bisnis perkebunan mencatatkan pertumbuhan pendapatan tertinggi, yakni 36% yoy menjadi Rp 11,75 triliun yang didorong oleh harga CPO yang lebih tinggi. Kenaikan pendapatan tertinggi kedua dicatatkan oleh produsen mi instan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), yakni sebesar 26% yoy menjadi Rp 42,06 triliun.
Kemudian, dari segi bottom line, INDF membukukan laba bersih Rp 5,4 triliun sepanjang sembilan bulan pertama 2021 atau meningkat 44% yoy. Laba bersih tersebut lebih baik dari yang diharapkan, yakni 81,7% dari perkiraan setahun penuh BRI Danareksa Sekuritas dan 78,9% dari perkiraan konsensus.
Sejalan dengan realisasi kinerja tersebut, Natalia merevisi naik proyeksi laba bersih INDF sebesar 9% untuk 2021 dan 7% untuk 2022. Alhasil, laba bersih INDF sepanjang 2021 diperkirakan meningkat 11,9% yoy menjadi Rp 7,22 triliun, sedangkan laba bersih 2022 tumbuh 6,7% ke Rp 7,7 triliun. Kemudian, pendapatan 2021 diprediksi terkerek 22,6% yoy menjadi Rp 100,19 triliun dan pendapatan 2022 tumbuh 5,6% yoy menjadi Rp 105,8 triliun.
Dalam riset tersebut, Natalia mempertahankan rekomendasi beli untuk saham INDF dengan target harga Rp 8.700 per saham. Target harga tersebut menunjukkan prediksi price to earning ratio (PER) untuk tahun 2022 yang berada di posisi 9,9 kali.
"Berdasarkan analisis sensitivitas kami, INDF tidak terlalu terpengaruh oleh pergerakan harga CPO karena divisi agribisnisnya sebagian mengimbangi penurunan ICBP," ucap Natalia. Namun, ia melihat akan ada dampak negatif dari harga gandum yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan biaya yang berpotensi berefek ke margin.
Analis Sinarmas Sekuritas Elvira Natalia dalam riset tanggal 24 Desember 2021 juga masih memasang rekomendasi beli pada INDF dengan target harga Rp 7.800 per saham di 2022. Target harga ini mencerminkan PER 9,1 kali.
Elvira memprediksi, pendapatan INDF pada tahun 2021 akan meningkat 19% yoy menjadi Rp 97,36 triliun dan pada 2022 lanjut tumbuh 6% ke Rp 103,17 triliun. Sementara itu, laba bersih tahun 2021 diperkirakan naik 8,6% menjadi Rp 7,01 triliun dan 2022 terkerek 7% menjadi Rp 7,5 triliun.
"Sinarmas Sekuritas berpandangan bahwa segmen CBP akan terus menjadi tulang punggung perusahaan, sementara agribisnis akan menjadi penyangga marginnya," kata Elvira.
Kenaikan harga komoditas juga diprediksi akan memberikan efek yang lebih ringan ke margin INDF, sebab perusahaan sudah menaikkan harga mi dan produk susunya di kuartal keempat 2021. Di sisi lain, risiko kerugian mungkin terjadi apabila permintaan domestik ternyata lebih lemah dari perkiraan dan harga bahan mentah yang lebih tinggi dari perkiraan.
sumber : kontan
Lebih lengkapnya silahkan klik : Saham Online
Komentar
Posting Komentar