Belajar tentang bursa saham sebenarnya tak serumit bayangan kebanyakan orang awam. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga acap menciptakan peristiwa yang biasa terjadi di bursa saham, kok.
Kalau ingin mencari definisi tentang saham, silakan Anda membuka kamus bahasa atau kamus istilah keuangan. Namun, kalau Anda sama sekali asing dengan terminologi keuangan dan bisnis, mungkin dahi Anda akan mengernyit.
maklum, umumnya pengertian yang tersaji di sana sekadar ringkasan dari sebuah penjelasan panjang yang lebih kompleks. Memahami arti saham menjadi bekal paling awal untuk mengarungi rimba investasi di pasar modal, khususnya bursa saham. Oleh sebab itu, mari kita mencoba memahami seluk-beluk investasi lewat sebuah ilustrasi sederhana. Anggap saja saat ini Anda menjalankan bisnis katering yang menguntungkan. Suatu hari, muncul pikiran dan niat dalam batin Anda untuk membesarkan usaha itu.
Kalau selama ini hanya menerima order dari satu kompleks, Anda ingin pula menjangkau pelanggan seluas kecamatan. Maklum, soal keahlian menghadirkan hidangan lezat, Anda yakin memiliki kemampuan tak kalah dari Arnold Poernomo maupun Juna Rorimpandey yang suka tampil di televisi. Namun, Anda sadar bahwa modal keahlian saja tak cukup untuk menjadikan bisnis berkembang lebih besar.
Skala usaha yang lebih gede memerlukan peralatan masak yang berkapasitas lebih besar pula. Selain itu, Anda mungkin juga perlu bantuan pekerja lebih banyak. Belum lagi kalau memikirkan ongkos untuk menyebar pamflet, bikin spanduk, atau pasang iklan di radio lokal. Semua itu membutuhkan tambahan modal. Masalahnya, dari mana Anda bisa memperolehnya? Anda sadar tak mempunyai cukup tabungan untuk menambah modal. Itu sebabnya, terbetik rencana untuk mencari pinjaman uang kepada salah seorang teman arisan. Setelah Anda hubungi, ternyata dia tak keberatan memberikan utangan. Namun, dia memasang syarat bahwa Anda mesti memberinya bunga 5% per bulan dan melunasi pinjaman selama setahun. Jadi, taruh kata Anda butuh pinjaman Rp 20 juta, berarti Anda harus menyetor bunga sebesar Rp 1 juta per bulan plus menyisihkan dana untuk mengembalikan pokok utang sebesar Rp 1,65 juta per bulan.
Hitung-hitung, Anda merasa syarat itu terlalu berat. Apalagi, Anda juga tak yakin 100% ekspansi bisnis akan berjalan sesuai harapan. Bayangkan, kalau ternyata ekspansi gagal sementara Anda harus menyetor Rp 2,65 juta per bulan untuk melunasi pinjaman itu. Kini, satu-satunya jalan agar Anda bisa mewujudkan rencana ekspansi adalah mengajak orang lain untuk bergabung dan menyetorkan kebutuhan modal baru tadi. Untunglah, salah seorang tante Anda --sebut saja namanya Tante Anna- bersedia memodali rencana perluasan usaha itu. Persoalannya sekarang, berapa besar modal yang perlu Anda bagi kepada Tante Anna? Untuk memastikan, Anda perlu menghitung dulu nilai aset bisnis Anda saat ini.
Hargai perkakas masak yang Anda miliki. Jangan ketinggalan menghitung nilai perlengkapan penyajian hidangan, serta berbagai aset lain yang berhungan dengan bisnis katering Anda. Ringkas kata, setelah dihitung teliti anggap saja seluruh nilai aset tadi Rp 20 juta. Oh, iya, Anda boleh juga memasukkan reputasi yang Anda bangun selama ini sebagai aset yang bernilai uang. Wajar, dong, bukankah kunci sukses bisnis makanan adalah reputasi menyangkut rasa yang lezat dan tampilan hidangan yang memikat? Oke, anggap saja Anda berani menghargai reputasi yang telah Anda bangun selama ini dengan nilai Rp 10 juta pula. Nah, kini, berarti bisnis katering yang selama ini Anda jalankan memiliki modal dasar sebesar Rp 30 juta.
Untunglah, Tante Anna bisa memahami dan menerima perhitungan tersebut. Malah, dia sanggup untuk menyetor modal tambahan Rp 20 juta guna ekspansi usaha. Setelah kesepakatan tercapai, berarti usaha katering baru yang terbentuk dari hasil kongsi ini memiliki kondisi keuangan baru pula. Dari semula hanya bermodal Rp 30 juta, kini modal usaha Anda bertambah menjadi Rp 50 juta. Begitu pula dengan soal kepemilikan. Dari semula 100% usaha itu miliki Anda, sekarang 40%-nya menjadi milik Tante Anna.
Perubahan komposisi pemilikan itu, seperti telah disinggung tadi, juga berdampak pada pembagian keuntungan. Kalau dulu seluruh keuntungan boleh Anda masukkan dompet seluruhnya, sekarang sebagian di antaranya menjadi hak Tante Anna. Baca Juga: Warren Buffett: Kesuksesan sejati tidak ada hubungannya dengan uang Seandainya dalam setahun bisnis katering memberikan laba bersih sebanyak Rp 25 juta, maka Anda berhak menyisihkan Rp 15 juta alias 60%-nya; sedangkan Tante Anna berhak mendapat bagian sebanyak Rp 10 juta atau 10% laba tadi. Begitu pula andaikata usaha Anda bangkrut. Kerugian yang muncul harus Anda tanggung berdua sesuai porsi kepemilikan masing-masing tersebut.
Bursa saham sedikit lebih rumit
Nah, pembaca, itulah gambaran sederhana asal-muasal munculnya saham. Saham? Lo, dari tadi tak disinggung soal saham, kok! Mungkin begitu protes Anda. Baiklah. Saham sebenarnya sekadar tanda bukti kepemilikan modal oleh seseorang atau suatu pihak pada sebuah perusahaan. Dalam kasus tadi, berarti Anda dan Tante Anna sama-sama menjadi pemegang saham bisnis katering. Anda memiliki 60% saham, sedangkan Tante Anna memiliki 40% saham lainnya.
Meski sederhana, kisah tadi bisa menggambarkan apa yang terjadi dalam pasar modal sesungguhnya. Banyak sekali perusahaan seperti bisnis katering Anda. Pemilik lama mereka menawarkan saham ke pihak lain untuk mendapat tambahan modal. Hasil penjualan saham biasanya dipakai untuk ekspansi usaha. Tak sedikit pula yang menggunakannya untuk melunasi utang. Perusahaan seperti itu disebut sebagai emiten. Bedanya, para emiten ini tidak menawarkan sahamnya ke orang per orang. Mereka menawarkan saham bagi khalayak luas. Dengan kata lain, mereka membuka kesempatan bagi ratusan bahkan ribuan orang untuk ikut menanam modal dengan membeli saham. Kalau tidak banyak, nanti tak banyak masyarakat kebagian, kan?
Lagi pula dengan memecah saham menjadi banyak, modal yang harus disetor oleh masing-masing pembeli saham bisa lebih terjangkau. Kalau ada orang mampu menyetor modal lebih banyak, dia tinggal membeli saham dengan jumlah yang sepadan. Tentu saja, berhubung jumlah sahamnya banyak sekali, setiap saham jadinya hanya mewakili nol koma nol nol sekian persen kepemilikan perusahaan. Warga masyarakat yang membeli saham massal itulah yang sering disebut investor publik. Dari situ muncul istilah go public. Buntutnya lagi, lahir saham publik yang berarti saham perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat umum. Pendiri perusahaan --dalam kisah tadi berarti Anda-- biasanya dijuluki sebagai pemegang saham pendiri. Adapun pemilik saham yang memiliki porsi paling besar dari total saham mendapat sebutan sebagai pemegang saham mayoritas.
Dalam dunia pasar modal sungguhan, penjualan saham kepada masyarakat tidak sesederhana kisah Anda menawarkan saham kepada Tante Anna. Ada pihak ketiga yang biasanya menghitung nilai aset perusahaan, mengkalkulasi berapa saham yang layak diterbitkan, serta menentukan setiap saham mewakili berapa persen kepemilikan. Mereka pula yang menyarankan harga setiap saham. Selain bertindak sebagai konsultan, pihak ketiga ini biasanya juga berperan sekaligus sebagai agen utama penjualan saham tersebut. Atas perannya itu mereka mendapat sebutan sebagai penjamin emisi alias underwriter.
Oh, iya, kalangan pasar modal biasa menyebut penerbitan saham dan surat berharga dengan istilah emisi. Jadi, jangan salah kabrah dengan asap knalpot kendaraan, ya? Saat penawaran saham publik pertama kali itulah yang sering disebut orang bursa saham sebagai initial public offering (IPO). Mereka juga suka menyebutnya dengan istilah "pasar perdana". Keuntungan yang dibagi-bagi oleh emiten kepada pemegang saham disebut dividen. Cuma, biasanya tak seluruh keuntungan perusahaan dibagikan kepada pemilik saham. Ada sekian persen laba tetap ditahan sebagai tambahan modal baru yang bisa dipakai untuk mengembangkan bisnis. Jadi, kalau membutuhkan tambahan modal yang tak terlalu banyak, perusahaan tak perlu sedikit-sedikit menerbitkan saham baru.
Dalam dunia pasar modal sungguhan, saham-saham yang dimiliki para investor tadi bisa diperjualbelikan. Hanya, jika pelakunya investor publik, proses jual belinya tidak sederhana. Ada pasar khusus untuk berjual beli saham. Pasar semacam itulah yang disebut sebagai bursa saham. Di Indonesia ada dua bursa saham semacam itu, yaitu Bursa Efek Indonesia (BEI). Pasar yang satu ini agak berbeda dengan pasar pada umumnya. Di bursa saham, penjual tidak bertemu langsung dengan pembeli untuk melakukan tawar-menawar. Mereka mesti menjual atau membeli saham lewat makelar atau broker.
Nah, para broker inilah yang biasa disebut pialang saham. Sedangkan aktivitas jual beli di bursa seperti ini sering dijuluki sebagai pasar sekunder. Tapi, tidak sembarang perusahaan sahamnya bisa diperjualbelikan di bursa saham. Hanya perusahaan-perusahaan yang sudah mendaftarkan sahamnya ke BEI yang bisa diperjualbelikan lewat dua bursa itu. Dengan mencatatkan saham di bursa, kelak perusahaan akan lebih gampang kalau mau menghimpun modal segar lagi. Keberadaan bursa saham yang memungkinkan investor berjual beli saham kapan saja, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemiliki duit.
Sumber : kontan
Lebih lengkapnya silahkan klik : IQPLUS
Komentar
Posting Komentar