Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) mendesak Pemerintah untuk tidak memaksakan penetapan upah minimum tahun 2022 hanya berdasarkan pada Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja maupun peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. ASPEK Indonesia menuntut kenaikan upah minimum tahun 2022 sebesar 7% - 10%, berdasarkan pada hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di 24 Provinsi, dengan menggunakan 60 komponen KHL.
Hasil survey KHL KSPI menunjukkan bahwa besaran kenaikan upah minimum tahun 2022 yang paling layak adalah sebesar 7% sampai dengan 10%. Demikian disampaikan Mirah Sumirat, SE, Presiden ASPEK Indonesia dalam keterangan pers tertulisnya.
Mirah Sumirat menekankan bahwa Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih dalam proses sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi. Sehingga segala peraturan turunannya, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan seharusnya dikesampingkan dan tidak dipaksakan untuk diberlakukan.
ASPEK Indonesia meminta Pemerintah untuk menetapkan kenaikan upah minimum tahun 2022, dengan tetap menggunakan formula perhitungan kenaikan upah minimum berdasarkan Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kenaikan Upah Minimum harus berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, tegas Mirah.
ASPEK Indonesia juga mengkritik keras adanya intervensi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri kepada kepala daerah dalam penetapan upah minimum tahun 2022. Dikutip dari website Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri; https ://bangda.kemendagri.go.id/berita/baca_kontent/1573/zanariah_penetapan_dan_pengumuman_upah_minimum_provinsi_paling_lambat_21_november_tahun_berjalan, diberitakan bahwa; Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah IV Kemendagri Zanariah membuka Pertemuan Pusat dan Daerah dalam rangka Asistensi dan Evaluasi dalam Penetapan Upah Minimimum Provinsi (UMP) yang diselenggarakan secara hybrid (daring dan luring) selama dua hari, mulai Rabu (27/10/2021) hingga Kamis (28/10/2021) di Hotel Harris Suites Puri Mansion Estate Jakarta.
Pada sambutannya, Zanariah mengatakan pertemuan pusat dan daerah ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menyamakan presepsi terkait bagaimana mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya Klaster Ketenagakerjaan dan produk hukum turunannya salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dalam penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang wajib ditetapkan oleh provinsi setiap tahun dan Upah Minimum Kabupaten/Kota yang dapat ditetapkan oleh provinsi.
Selama berkuasa, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan peraturan pengupahan yang semakin rendah dan merugikan pekerja. Jika berdasarkan Undang Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, kenaikan upah minimum harus dihitung berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menghilangkan mekanisme survey KHL, sehingga formula kenaikan upah minimum hanya berdasarkan akumulasi tingkat inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi.
Kemudian pada 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan aturan turunan dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kembali mengurangi dasar perhitungan kenaikan upah minimum hanya berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi (bukan akumulasi).
Mirah Sumirat juga mengkritisi lemahnya fungsi pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan dan Kementerian Ketenagakerjaan. Lemahnya fungsi pengawasan menjadi permasalahan serius yang selalu gagal dibenahi oleh Pemerintah. Akibatnya masih banyak perusahaan yang membayar upah pekerjanya hanya sebatas upah minimum. Padahal seharusnya upah minimum hanya diberikan kepada pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Sedangkan untuk pekerja yang berkeluarga atau masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun seharusnya mendapatkan upah di atas upah minimum. Kondisi ini terjadi karena banyak perusahaan yang .nakal. karena tidak membuat Struktur dan Skala Upah di perusahaannya.
Padahal Struktur dan Skala Upah wajib dibuat oleh perusahaan. ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah untuk serius dan tidak cuma .lips service. dalam menjalankan fungsi pengawasan, serta tegas menindak perusahaan yang tidak bertanggungjawab dan semena-mena terhadap pekerjanya, tegas Mirah Sumirat.
ASPEK Indonesia yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pada tanggal 9 dan 10 November 2021, menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi DKI Jakarta. Tuntutan aksi kali ini adalah: 1) Hentikan intervensi Mendagri kepada kepala daerah dalam penetapan upah minimum tahun 2022; 2) Naikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK/K) sebesar 7% - 10%; 3) Berlakukan Upah Minimum Sektoral 2021; 4) Batalkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; dan 5) Penjanjian Kerja Bersama (PKB) tanpa UU Cipta Kerja.(end)
sumber : IQPLUS
Lebih lengkapnya silahkan klik : Saham Online
Komentar
Posting Komentar