PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memiliki prospek yang berat di tengah pandemi Covid-19. Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menuturkan, pandemi akan terus memberikan tekanan pada Garuda Indonesia.
Sebabnya, saat ini perusahaan tidak dapat menjalankan usahanya di tengah pembatasan pergerakan sosial yang terus diterapkan pemerintah.
Terlebih sejak awal melakukan IPO pada 2011 lalu, emiten berkode saham GIAA di Bursa Efek Indonesia ini selalu membukukan kerugian.
"Begitu ada pandemi Covid-19 ruginya semakin besar dan walaupun sudah diberikan setoran modal oleh pemerintah sebagai pemegang saham pengendali, tetapi sepertinya belum cukup," ujarnya kepada kontan.co.id, Selasa (20/7).
Hingga akhir 2020, pendapatan Garuda Indonesia anjlok 67,40% year-on-year (yoy) menjadi US$ 1,49 miliar. Adapun rugi bersih tahun lalu membengkak menjadi US$ 2,44 miliar dari tahun 2019 sebesar US$ 38,94 juta.
Perusahaan penerbangan pelat merah ini juga tengah menghadapi berbagai gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Dalam catatan Kontan.co.id, pada 9 Juli lalu, PT My Indo Airlines mengajukan permohonan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sebulan sebelum My Indo Airlines mengajukan PKPU, Aercap Ireland Limited (Aercap) sudah lebih dulu mengajukan gugatan kepailitan terhadap Garuda Indonesia.
Kendati begitu, Teguh menilai dengan status perusahaan BUMN maka pemerintah tidak akan membiarkan GIAA mengalami kepailitan.
"Sehingga ujung-ujungnya pemerintah akan setor dana lagi karena tidak bisa menjalankan usaha penerbangan dengan adanya PPKM dan lainnya," paparnya.
Mengutip laporan keuangan GIAA, Ekuitas perusahaan negatif atau defisiensi modal US$ 1,94 miliar pada akhir 2020. Kondisi itu berbalik dari ekuitas positif US$582,58 juta pada 2019.
Liabilitas Garuda Indonesia mencapai US$ 12,73 miliar pada 2020, dengan perincian liabilitas jangka panjang US$ 8,44 miliar dan jangka pendek US$ 4,29 miliar.
Dalam laporan keuangannya, manajemen GIAA juga menjelaskan Grup mengalami kerugian sebesar US$ 2,5 miliar dan pada tanggal 31 Desember 2020, liabilitas jangka pendek Grup melebihi aset lancarnya sejumlah US$ 3,8 miliar. Garuda mengalami defisiensi ekuitas sebesar US$ 1,9 miliar
Dari kinerja saham, Teguh berpendapat lantaran sejak awal IPO Garuda Indonesia memiliki fundamental yang tidak bagus. Oleh sebab itu, pada IPO harga saham GIAA yang berada di harga Rp 750 terus mengalami penurunan. Bahkan, sejak IPO itu saham GIAA disebutnya paling tinggi berada di sekitar Rp 400.
Teguh menilai, satu-satunya yang membuat saham GIAA menarik adalah sebatas perusahaan tidak akan bangkrut karena statusnya sebagai BUMN. Namun, selama pandemi belum terkendali ia melihat prospek GIAA sangat berat.
"Walaupun ditambah modal juga akan selalu habis karena terus mencatatkan kerugian dan memiliki utang besar. Untuk saat ini, untuk masuk ke Garuda Indonesia lebih ke spekulasi saja," sebutnya.
Saat ini, BEI juga tengah memberhentikan perdagangan saham GIAA. Penghentian sementara saham GIAA berlaku di seluruh pasar sejak 18 Juni 2021 sesi I.
Sebelum disuspensi, saham GIAA bertengger di posisi Rp 222. Level itu merosot 44,78% sepanjang 2021. Sepanjang tahun ini, saham GIAA bergerak di rentang Rp 220 - Rp 440.
Sumber: KONTAN
Komentar
Posting Komentar