Per Desember 2020, Perseroan berhasil mencetak peningkatan penjualan untuk komoditas bijih besi mencapai 377,30% atau sebesar Rp 7,41 Miliar, dibandingkan pada tahun 2019 hanya sebesar Rp 1,55 Miliar. Sementara penjualan komoditas Seng Perseroan tercatat sebesar Rp304,94 Miliar, komoditas Timbal sebesar Rp 127,00 Miliar, dan Perak sebesar Rp 168,75 Miliar.
Harjanto Widjaja selaku Direktur Utama ZINC mengungkapkan "Kami melihat adanya peluang yang positif dari peningkatan harga komoditas di penghujung tahun 2020, terutama harga bijih besi. Oleh karenanya Perseroan pun mulai menggerakan armada alat berat dan memulai kembali penambangan skala besar bijih besinya di kuartal 4 tahun 2020 untuk persiapan Perseroan menghadapi tahun 2021. Langkah ini dinilai tepat melihat sekarang harga bijih besi sudah melewati USD 200 untuk kadar 62%."
Adanya pandemi Covid-19 selama tahun 2020 turut mempengaruhi kinerja Perseroan dibandingkan pada tahun sebelumnya. Meski demikian, Perseroan masih mampu membukukan penjualan sebesar Rp 608,1 Miliar, dengan kontribusi penjualan terbesar berasal dari pasar ekspor yang mencapai Rp 600,6 Miliar. Perseroan juga mencatatkan laba kotor sebesar Rp 161,7 Miliar, sedangkan laba bersih Perseroan tercatat sebesar Rp29,12 Miliar sepanjang tahun 2020.
Sejalan dengan rencana bisnis ke depan, pada tahun ini ZINC akan fokus untuk meningkatkan kapasitas produksi serta penambangan dari bisnis inti Perseroan. Perseroan optimis dengan cadangan mineral yang dimiliki, kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan untuk mendukung penjualan ke depan.
"Diharapkan pada tahun 2021 ini produksi konsentrat timbal dapat mencapai 17.500 ton, serta produksi konsentrat seng mencapai 46.000 ton sesuai dengan kuota ekspor yang kami miliki. Tentunya target ini masih masih dapat berubah apabila peningkatan kapasitas produksi kami berhasil, di mana kami menargetkan kapasitas produksi dapat meningkat sekitar 20-30% di tahun ini.
Selain itu,Perseroan juga akan terus meningkatkan produksi bijih besi untuk menangkap peluang positif dari peningkatan permintaan komoditas tersebut. Hal ini sebagai dampak dari perang dagang yang terjadi antara Australia dan China yang turut mengangkat harga komoditas tersebut," tutup Harjanto.(end)
Sumber: IQPLUS
Komentar
Posting Komentar