Tahun pandemi membuat kinerja perusahaan semen nasional terdampak. Salah satunya adalah PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk (INTP). Baik top line atau pendapatan maupun bottom line atau laba bersih emiten produsen Semen Tiga Roda ini mengalami penurunan.
Laporan keuangan mencatat, pendapatan neto perusahaan di tahun 2020 anjlok 11% (yoy) menjadi Rp 14,18 triliun. Sebelumnya pendapatan INTP masih Rp 15,19 triliun di 2019. Volume penjualan drop 9,7% (yoy) dari 18,95 juta ton menjadi 17,11 juta ton.
Laba tahun berjalan turun 1,6% (yoy) menjadi Rp 1,81 triliun dari Rp 1,84 triliun. Kendati laba tahun berjalan turun tetapi penurunannya tidak sebesar penurunan pendapatan neto. Hal ini disebabkan oleh upaya penghematan yang dilakukan oleh perusahaan.
Beban pokok penjualan turun 13,1% (yoy) karena penurunan pada volume penjualan, rendahnya harga batu bara dan efisiensi penggunaan listrik.
Penurunan biaya bahan bakar dan listrik per ton sebesar 10.9% (yoy). Keseluruhan harga batu bara yang lebih rendah dibandingkan tahun 2019. Peningkatan penggunaan batu bara berkalori rendah. Peningkatan penggunaan bahan bakar alternatif.
Laba sebelum beban bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) naik 4,9% (yoy) menjadi Rp 3,28 triliun tahun lalu dari Rp 3,12 triliun.
INTP masih mempertahankan arus kas dan setara akas sebesar Rp 7,7 triliun per akhir Desember 2020. Estimasi pengeluaran untuk belanja modal (capex) di tahun 2020 mencapai Rp 1,2 triliun.
Untuk tahun 2021 INTP sudah menjual 1,15 juta ton semen di bulan Februari, turun 8% secara yoy atau anjlok 11% secara mom (month on month) karena lemahnya penjualan di Jawa Barat akibat cuaca buruk.
Volume penjualan produsen semen Grup Heidelberg ini pun lebih rendah dibandingkan pertumbuhan penjualan semen secara nasional yang sukses tumbuh positif secara tahunan.
Hujan deras mengakibatkan tanah longsor dan banjir telah merugikan pengiriman baik melalui darat maupun jalur lain. Berdasarkan data industri, penjualan di Jawa Barat turun sebesar 9,5% (mom) dan 13,1% (yoy), sementara penjualan di Sumatera turun 18,1% (yoy) dan 13,8% (mom).
Dalam periode 2 bulan pertama tahun 2021 total penjualan semen INTP mencapai 2,44 juta ton atau drop 4,6% (yoy). Penjualan di Jawa Barat turun 8,5% (yoy) karena penjualan yang lemah di bulan lalu.
Penjualan semen awal tahun memang cenderung lebih kecil dibandingkan dengan akhir tahun di mana perusahaan-perusahaan konstruksi berlomba-lomba untuk kejar target pada periode tersebut. Penjualan semen awal tahun juga sangat dipengharuhi oleh curah hujan dan kondisi cuaca.
Pangsa pasar INTP dibandingkan dengan pabrikan semen lain saat ini berada di kisaran 25% di Februari, menyusut tipis dari bulan Januari di angka 26%
Meskipun demikian, prospek industri semen di tahun 2021 dinilai bakal lebih cerah dibanding tahun lalu.
Ada beberapa katalis yang mendorongnya. Pertama adalah kenaikan anggaran infrastruktur sebesar 38% dari tahun sebelumnya.
Kedua ialah dan disahkannya UU Cipta Kerja yang diharapkan dapat menarik lebih banyak investasi pada paruh kedua tahun ini terutama di sektor riil yang tentu saja akan menguntungkan sektor konstruksi serta sektor pendukungnya.
Adanya prospek yang lebih cerah sudah diantisipasi oleh perusahaan. INTP memiliki tambang baru yaitu proyek Pamoyanan di dekat Jakarta, Cikampek dan Bogor. Produksi komersial dimulai sejak Oktober 2020. Target produksi adalah sebesar 100 ribu ton/bulan untuk tahun pertama.
Kapasitas produksi tahunan adalah sebesar 2.5juta ton/tahun. INTP siap untuk memasok proyek proyek strategik di sekitar Jabodetabek seperti proyek Rel Kereta Api Cepat Jakarta-Cikampek Bagian Selatan, Jalan Tol Pelabuhan, LRT dan proyek lainnya
Secara year to date (ytd) harga saham INTP terkoreksi 6,04% di posisi Rp 13.600/saham pada penutupan perdagangan Senin (22/3/2021).
Saat ini INTP ditransaksikan di 27,72 kali harga terhadap labanya (price to earning ratio/PER) dan 2,26 kali dari nilai bukunya (price to book value/PBV). Jika dibandingkan secara historis ini merupakan valuasi terendahnya sejak tahun 2017.
Hal ini terjadi karena harga saham INTP terus terkoreksi akibat perusahaan tergolong sudah mature sehingga terjadi penyesuaian valuasi.
Tercatat sebelum pandemi perusahaan membagikan dividen sebesar atau lebih banyak daripada laba bersih tahunan. Hal ini tentu saja menyebabkan perusahaan sulit berekspansi sehingga laba bersih perseroan dalam 5 tahun terakhir cenderung stagnan. Tercatat 5 tahun terakhir INTP hanya mampu membukukan laba sekitar Rp 1,8 triliun - Rp 1,9 triliun per tahun
Hal ini tentu saja mempengaruhi kinerja saham INTP selama 5 tahun terakhir yang tercatat sudah terkoreksi 38,18%.
Meskipun demikian, apabila memperhitungkan dividen yang sudah dibagikan, investor yang telah memegang saham INTP sejak tahun awal 2016 'hanya' merugi 31,14%.
Sumber: CNBC
Komentar
Posting Komentar