Pemerintah kembali menegaskan insentif berupa royalti 0% untuk batubara yang digunakan dalam peningkatan nilai tambah (PNT) alias hilirisasi. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Aturan turunan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2021 lalu. Pelaku usaha pun menyambut baik ketentuan tersebut.
Meski begitu, beleid tersebut sejatinya belum lengkap. Sebab, ketentuan lebih rinci masih harus diatur lewat Peraturan Menteri (Permen). PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menjadi perusahaan batubara raksasa yang menunggu Permen tersebut.
Head of Corporate Communication ADRO Febriati Nadira menyampaikan bahwa pihaknya menyambut baik rencana hilirisasi batubara yang digaungkan pemerintah. Sebagai kontraktor pemerintah, sambung Nadira, pihaknya berharap agar regulasi di industri batubara dapat membuat perusahaan-perusahaan nasional seperti ADRO tetap bisa eksis dan ikut mendukung ketahanan energi nasional.
"Kami menyambut baik (insentif royalti 0% untuk hilirisasi batubara). Detailnya masih menunggu pengaturan di Permen ESDM," kata Nadira kepada Kontan.co.id, Senin (22/2).
Dalam PP Nomor 25 Tahun 2021, ketentuan insentif royalti diatur dalam Bab II terkait Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam Pasal 3 (ayat 1) beleid tersebut menegaskan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi, IUP Khusus (IUPK) operasi produksi dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian untuk komoditas batubara yang melakukan kegiatan PNT batubara di dalam negeri dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0%.
"Perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0% sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan kemandirian energi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri," sebut ayat (2) beleid tersebut, dikutip Kontan.co.id, Senin (22/2).
Selanjutnya, diatur bahwa pengenaan royalti sebesar 0% dikenakan terhadap volume batubara yang digunakan dalam kegiatan PNT batubara. Namun, ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan PNT batubara, besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan akan diatur dalam Peraturan Menteri (Permen).
"Besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan royalti sebesar 0% harus terlebih dahulu mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara," sebut Pasal 3 ayat (5).
Coal to Methanol
Dari sisi teknologi, Nadira mengungkapkan bahwa pihaknya sudah melakukan berbagai studi terkait hilirisasi batubara yang akan dilakukan Adaro Group. Kesimpulan dari studi tersebut, produksi methanol berbasis gasifikasi batubara menjadi jenis hilirisasi yang cocok dikembangkan oleh ADRO.
"Saat ini kami tengah mempertimbangkan berbagai aspek antara lain kepastian pasar dari segi volume dan harga," terang Nadira.
Dia menambahkan, ADRO pun menggandeng Pertamina untuk melakukan kerjasama, sebagai langkah awal mengembangkan gasifikasi batubara. "Ini untuk mendukung upaya pemerintah pada program peningkatan nilai tambah batubara," ungkap Nadira.
Mengenai besaran investasi dari proyek tersebut, Nadira belum memberikan gambaran. Yang pasti, hilirisasi mesti dilakukan ADRO sebagai salah satu syarat perpanjangan izin dan perubahan status anak usahanya, yakni PT Adaro Indonesia.
Berakhir pada 1 Oktober 2022, PT Adaro Indonesia harus melakukan hilirisasi batubara sebagai syarat perubahan status dari Perjanjian karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kelanjutan operasi/kontrak.
Merujuk data dari Kementerian ESDM, PT Adaro Indonesia akan melakukan proyek hilirisasi coal to methanol yang berlokasi di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Status saat ini masih finalisasi kajian (pra-FS).
Estimasi operasi komersial (COD) proyek ini bisa pada tahun 2027 dengan feedstock batubara mencapai 1,3 juta ton per tahun, dan produksi methanol mencapai 660.000 ton per tahun.
Sumber: KONTAN
Komentar
Posting Komentar