Tahun lalu adalah musim yang berat bagi emiten perkebunan. Pasalnya, hanya 1 dari 11 emiten yang mencatatkan pertumbuhan laba bersih.
PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR) mencatatkan peningkatan laba bersih sebesar 50,34 persen. Investor Relations Sinar Mas Agribusiness and Food Pinta S. Chandra mengatakan kenaikan bottom line ditopang oleh laba selisih kurs yang terutama berasal dari translasi utang berdenominasi mata uang dolar AS ke rupiah.
Menurutnya menguatnya mata uang rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2019 ikut berpengaruh karena tahun sebelumnya tercatat rugi selisih kurs. Berdasarkan laporan keuangan SMAR, pos selisih kurs mencetak laba senilai Rp407,17 miliar.
Adapun pada tahun lalu pos ini mencatatkan rugi bersih Rp632,44 miliar. Tanpa sumbangan signifikan dari pos ini, perseroan bisa jadi akan mencatatkan rugi.
Sementara untuk tahun ini, Pinta belum dapat memberikan target pendapatan atau pun laba bersih. Menurutnya semua tergantung dari harga jual.
“Namun demikian, target top dan bottom line akan sangat tergantung pada harga pasar CPO internasional yang berada di luar kendali,” katanya kepada Bisnis.com belum lama ini.
Berdasarkan CIF Rotterdam harga minyak sawit kerap bergerak naik 63,80 persen dari posisi US$525 per ton pada Januari menjadi US$860 per tahun pada Desember. Sementara untuk saat ini, harga kembali melemah 30,18 persen ke level US$595 per ton pada Senin (13/4).
Adapun bursa derivative Malaysia mencatat harga jual rata-rata minyak sawit di 2019 tercatat sebesar 2.130 Ringgit per ton, atau 5 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2018. Namun harga sempat melonjak sebesar 50 persen dari MYR2.010 per ton di akhir September menjadi MYR3.025 per ton pada penutupan tahun.
PT Sampoerna Agro Lestari Tbk. (SGRO) bakal berpegang teguh pada efisiensi untuk tahun ini. Head Investor Relations Sampoerna Agro Michael Kesuma mengatakan perseroan akan ketat dalam hal belanja modal dan pengeluaran lainnya.
Adapun program yang tetap konsisten untuk selalu dilakukan adalah peremajaan kebun. Pada tahun lalu perseroan tercatat menghabiskan Rp754,60 miliar untuk belanja modal tumbuh tipis 0,38 persen year on year (yoy).
“Pengeluaran kami lebih selektif dengan priorotas utama adalalah penambahan produktivitas dan intensifikasi. Sekalipun harga dan cuaca saat ini kurang mendukung,” ungkapnya.
Michael mengungkapkan jumlah produksi minyak sawit SGRO menurun 4 persen menjadi 385.079 ton pada 2019. Imbas dari cuaca kering pada semester kedua. Penurunan tersebut ditopang oleh peningkatan hasil panen Tandan Buah Segar (TBS) yang berasal dari kebun inti sebesar 6 persen atau menjadi 1,09 juta ton. Meski dilanda kekeringan, tingkat ekstrasi minyak sawit naik menjadi sebesar 21,5 persen.
Sementara itu, PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG) mencatatkan produksi CPO sebesar 610.000 ton, naik 25 persen dibandingkan dengan 2018. Direktur Utama Dharma Satya Andrianto Oetomo mengatakan dari jumlah tersebut dua kebun yang baru diakuisisi perseroan memberikan kontribusi sekitar 95.000 ton CPO atau 15 persen dari total produksi CPO.
“Tahun ini kami merencanakan untuk membangun dua Pabrik Kelapa Sawit (PKS) baru seiring dengan makin bertambahnya jumlah produksi dan luas kebun yang menghasilkan. Sampai akhir 2019, Perseroan memiliki 10 pabrik kelapa sawit dengan total kapasitas produksi 570 ton TBS per jam,” katanya.
Jumlah lahan tertanam DSNG mencapai 112.450 hektare dengan 101.799 hektare merupakan kebun yang sudah menghasilkan dengan umur rata-rata tanaman sekitar 9,9 tahun.
Sementara itu, PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) memiliki tantangan lain berupa utang dengan denominasi dollar US. Pertama adalah komitmen fasilitas pinjaman jangka panjang sebesar US$250 juta dengan jatuh tempo pada 6 Oktober 2022. Kedua adalah perjanjian fasilitas pinjaman masing-masing US$150 juta dan US$50 juta. Pinjaman ini akan jatuh tempo pada 30 Agustus 2024.
Direktur Utama Astra Agro Lestari Santosa mengatakan untuk eksposur utang dollar sudah menggunakan hedging atau nilai lindung. Menurutnya dengan neraca yang terlindungi maka rugi atau untung karena fluktuasi mestinya akan terkendali.
“Paling hanya timbul dari transaksi operasional itu pun kami lakukan dengan pegelolaan matching currency melalui fasilitas forward transaction. Jadi masih tenang mudah-mudahan tahun depan sudah lebih stabil untuk fund raising,” katanya.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar