Meski demikian, kata Rudy, kalau dilihat secara umum kondisi perekonomian Indonesia masih relatif lebih baik. "Kami bukan mengerem (penyaluran) kredit, tetapi situasi yang membuat kami tidak bisa mengejar penyaluran kredit secara cepat. Karena, kami melihat kondisi ekonomi global,"ungkapnya.
"Kami akui kondisi global sedang jelek. Jad, otomatis kami tidak bisa mengejar penyaluran kredit seperti tahun lalu yang bisa bertumbuh sekitar 12-14 persen," tutur Rudy.
Dia mengaku, hingga saat ini kondisi likuiditas BBCA masih memadai untuk melakukan penyaluran kredit, bahkan tingkat loan to deposit (LDR) perseroan masih sebesar 80%. "Jadi, kami tidak terlalu mengejar likuiditas, misalnya mengejar dari deposito. Bahkan, kami sudah menurunkan bunga deposito sebanyak dua kali. Turun dua kali 0,25%," katanya.
Lebih lanjut Rudy menegaskan, ketidakpastian ekonomi global belum memaksa BBCA untuk mengubah strategi kredit, termasuk untuk kredit yang gagal bayar. "Approach kami untuk underwriting kredit, selalu dalam dalam keadaan normal, meski pun saat keadaan jelek. Kami selalu prudent. Karena kalau dalam keadaan bagus kami tidak prudent, maka kalau ada keadaan jelek, otomatis kreditnya menjadi jelek," paparnya.
Terkait dengan kredit sindikasi, kata Rudy, BBCA juga tidak berada dalam situasi menahan penyaluran kredit. "Kalau untuk sindikasi, itu memang untuk membagi-bagi risiko. Daripada kami mengambil Rp1 triliun sendiri, lebih baik dibagi-bagi dengan cuma mengambil Rp200 miliar atau Rp300 miliar," imbuhnya.
Langkah tersebut, jelas dia, bukan semata-mata untuk menghindari risiko atau bahkan mengerem kredit, tetapi sebagai upaya membagi porsi kredit. "Misalnya ada fasilitas atau permintaan yang terlalu besar, seperti PLN yang sekali minta sebesar Rp3 triliun atau Rp4 triliun. Tidak mungkin kami masuk sendiri. Karena, sindikasi cuma sarana untuk memberikan pinjaman yang tepat ke nasabah," ujar Rudy. (end/as)
Komentar
Posting Komentar