(Baca juga: Strategi Gap Up dalam Trading)
Pada 12 Juni 2019, Asabri menjual 371,400 saham PCAR. Usai transaksi tersebut, kepemilikan Asabri di Prima Cakrawala berkurang dari 27,68% menjadi 27,65%.
Tidak diketahui pada harga berapa Asabri melepas saham PCAR. Yang jelas, pada tanggal itu ada dua transaksi tutup sendiri (crossing) saham PCAR. Pertama, sebanyak 5.714.000 saham melalui Wanteg Sekuritas. Nilai transaksinya sebesar Rp 20 miliar di harga Rp 3.500 per saham.
Kedua, crossing melalui broker Trust Sekuritas senilai Rp 483,8 juta. Transaksi ini melibatkan 142.300 saham di harga Rp 3.400 per saham.
Prima Cakrawala Abadi merupakan perusahaan pengolahan produk perikanan yang berbasis di Semarang. Emiten ini menjual daging rajungan terutama ditujukan ke pasar ekspor. Amerika Serikat (AS) menjadi pasar utama dengan porsi hampir 96% dari total penjualan perseroan.
Di saat bersamaan, berdasarkan laporan kepemilikan efek 5% atau lebih, pada 12 Juni 2019 Asabri melepas 1.003.300 saham FIRE. Sehari sebelumnya, atau 11 Juni 2019 Asabri masih mengempit 369.583.900 saham Alfa Energi. Dus, pasca transaksi tersebut kepemilikan Asabri di FIRE menyusut dari 25,21% menjadi 25,14%.
Belum ada informasi pada harga berapa transaksi itu dilakukan. Namun, pada 12 Juni 2019, saham FIRE ditutup di Rp 5.800 per saham, dengan harga rata-rata ada di Rp 5.432,9 per saham.
FIRE merupakan perusahaan perdagangan yang fokus pada komoditas batubara. Lewat dua anak usahanya, yakni PT Alfara Delta Persada dan PT Berkat Bara Jaya, FIRE memiliki konsesi tambang batubara di Kalimantan Timur.
Alfara Delta Persada punya izin usaha pertambangan (IUP) seluas 2.089 hektare (ha) di Kutai Kartanegara. Sementara Berkat Bara Jaya memiliki konsesi seluas 6.000 ha di Damai.
Alfa Energi juga masuk ke bisnis pembangkit listrik tenaga uap melalui anak usahanya, yakni PT Alfa Daya Energi.
Selain FIRE dan PCAR, Asabri memiliki portofolio di atas 5% di belasan saham lain.
Didongkrak MSCI
Sejatinya, kedua saham yang jadi portofolio Asabri ini tidak terlalu menarik untuk dilirik. Betul, di tengah tekanan harga batubara, pada kuartal I-2019 penjualan bersih FIRE melonjak 149,96% menjadi sekitar Rp 226,06 miliar. Cuma, beban pokok penjualan FIRE juga ikut melambung 143,72% menjadi Rp 195,61 miliar.
Penyebabnya antara lain kenaikan biaya bahan bakar, bongkar muat dan pembayaran royalti. Walhasil, laba bersih FIRE hanya naik 6,21% menjadi Rp 452,69 juta.
FIRE sempat diuntungkan keputusan Morgan Stanley Capital International memasukkannya ke dalam MSCI Global Small Cap Indexes sejak 28 Mei 2019. Selain FIRE, anggota baru indeks ini adalah PT Bank BTPN Tbk (BTPN), PT Pelayaran Tamarin Samudra Tbk (TAMU), PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) dan PT Tower Bersama Infrastucture Tbk (TBIG).
Sentimen tersebut mendongkrak pergerakan saham FIRE. Hingga 13 Mei 2019 saham FIRE masih bergerak mendatar dan berada di Rp 6.850 per saham. Hari berikutnya, informasi soal masuknya FIRE ke MSCI Global Small Cap Indexes menguar. Tak urung, saham FIRE mulai melambung hingga mencapai level tertinggi sepanjang sejarah di Rp 11.775 per saham pada 16 Mei 2019.
Namun sentimen itu hanya berefek sesaat lantaran harga saham FIRE lantas anjlok. Pada penutupan perdagangan Kamis (13/06) saham FIRE terkoreksi 3,88% ke level Rp 5.575 per saham.
Meski harga sahamnnya kini lebih rendah, secara valuasi saham FIRE terbilang kemahalan. Berdasar data RTI, price to earning ratio (PER) emiten itu mencapai 5.575 kali. Sementara price to book value (PBV) ada di level 25,23 kali.
Pabrik berhenti beroperasi
Di sisi lain, kinerja PCAR juga tidak menggembirakan. Pada kuartal I-2019 penjualan bersihnya anjlok 43,34% menjadi sekitar Rp 24,40 miliar. Walhasil, PCAR mesti menanggung rugi bersih Rp 724,74 juta, sedikit lebih rendah ketimbang kuartal I-2018 tatkala emiten itu merugi bersih Rp 992,88 juta.
Kondisi ini tidak lepas dari terhentinya operasional dua pabrik milik perseroan. Pada 14 September 2018, manajemen PCAR mengumumkan penutupan sementara pabrik di Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah sejak Agustus 2018. Pasalnya, pemerintah kota Semarang tidak mengeluarkan Ijin Usaha Industri lantaran pabrik tersebut berada di lingkungan pemukiman.
Sementara itu, berdasar materi public expose yang acaranya akan digelar 13 Juni 2019 di Semarang, manajemen PCAR menyebut, kondisi serupa juga terjadi di pabrik Indramayu. Pada Desember 2018, proses produksi terhenti akibat tingginya harga bahan baku dan mutu bahan baku yang rendah.
Padahal, kedua pabrik ini berkontribusi besar terhadap kemampuan produksi perseroan. Pabrik Semarang punya kapasitas produksi maksimal 100 ton per bulan. Sementara pabrik di Indramayu punya kapasitas produksi 37,5 ton per bulan.
PCAR tercatat masih memiliki satu pabrik yang beroperasi di Makassar. Kapasitas produksinya maksimal 37,5 ton per bulan.
Kinerja keuangan yang kurang baik membuat valuasi harga saham PCAR terbilang mahal. Data RTI menunjukkan, di harga penutupan Kamis (13/06), yakni di Rp 3.420 per saham, PER PCAR minus 1.710 kali. Sedangkan PBV emiten itu mencapai 45,60 kali.
Komentar
Posting Komentar