Bisnis.com JAKARTA -- Menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan upaya pemerintah dalam membasmi praktik pasar gelap diharapkan dapat semakin menunjang prospek saham emiten distribusi telepon seluler PT Erajaya Swasembada Tbk. pada tahun ini.
Adapun, emiten berkode saham ERAA tersebut juga telah tergabung ke dalam jejeran indeks LQ45, yaitu kumpulan saham berkapitalisasi pasar terbesar dan terlikuid, untuk periode Februari—Juli 2019.
Dari konsensus yang dihimpun Bloomberg, terdapat 11 analis yang merekomendasikan beli untuk ERAA dan 1 analis yang menyarankan posisi hold dengan target harga untuk 12 bulan ke depan di level Rp3242,22 per saham.
Analis Sinarmas Sekuritas Paulina Margareta menuturkan, pada tahun ini ERAA masih memiliki potensi besar karena perseroan masih akan menambah gerai hingga 120 lagi. Adapun penambahan gerai tersebut direncanakan tidak akan berpusat di Jakarta, tapi juga di kota-kota yang belum ada gerai Erajaya.
“Tahun lalu kan [ERAA] mengatakan ingin menambah hingga 250 toko, tapi baru terealisasi sekitar 60%-nya,” ujar Paulina kepada Bisnis, Senin (21/1/2019).
Berikutnya, penopang kinerja keuangan perseroan diperkirakan juga datang dari kehadiran produk-produk Xiaomi yang ditawarkan. Pasalnya, lanjut Paulina, permitaan atas produk Xiaomi semakin hari semakin meningkat karena produk asal China tidak lagi dipandang sebelah mata oleh konsumen.
Kendati sejauh ini penjualan produk telepon genggam merek Xiaomi masih berkontribusi besar ke dalam neraca pendapatan perseroan, produk lain berbasis IoT (Internet of Things) seperti smartwatch, power bank, speaker, CCTV, dan SmartTV dinilai juga dapat membawa potensi pasar yang sangat besar untuk ERAA.
Senada, Analis Samuel Sekuritas Indonesia Arandi Ariantara sepakat mempertahankan asumsi bahwa penjualan ERAA masih akan didorong oleh penjualan produk Xiaomi.
“Sepanjang 9 bulan pertama 2018, penjualan Xiaomi telah naik 6 kali lipat dan berkontribusi sebesar 54% terhadap pendapatan [ERAA],” katanya saat dihubungi.
Dia menjelaskan bahwa faktor penguatan rupiah juga akan menopang kinerja perseroan. Pasalnya, sebagian besar dari produk yang ditawarkan oleh ERAA masih didatangkan lewat impor.
Arandi memperkirakan penjualan telepon genggam ERAA pada tahun ini dapat tumbuh 15% menjadi 21,6 juta unit. Dengan begitu, pendapatan secara total diperkirakan dapat naik 22% menjadi Rp44,7 triliiun.
Baik Arandi maupun Paulina juga sepakat bahwa regulasi yang sedang disusun pemerintah terkait pemberantasan pasar gelap juga akan menjadi sentimen positif bagi perseroan.
Sejauh ini, praktik pasar gelap memang menjadi faktor penekan bagi para penjual ritel resmi di Indonesia.
“Rencana pemerintah untuk uji IMEI [International Mobile Equipment Identity] juga bagus untuk ERAA karena hal itu dapat membatasi perputaran barang-barang pasar gelap,” imbuh Arandi.
Di sisi lain, Paulina mengingatkan beberapa risiko tetap ada membayangi kinerja ERAA, terutama di kuartal I/2019 dan kuartal IV/2019, terkait prospek penjualan produk iPhone dari Apple.
“Secara yoy ada kemungkinan mungkin [penjualan produk baru iPhone] tidak akan secemerlang tahun lalu,” tuturnya.
Adapun Paulina memasang target harga untuk saham ERAA di level Rp3.050 dan Arandi di level Rp3.280.
Sejauh ini, perseroan masih enggan memberitahukan rencana dan strategi untuk tahun ini maupun mengenai realisasi kinerja pada tahun lalu.
Menurut konsensus Bloomberg, pendapatan ERAA pada tahun ini diperkirakan tumbuh 14,48% menjadi Rp39,29 triliun dari perkiraan pendapatan tahun lalu sebesar Rp34,32 triliun.
Begitu pula earning before interest, taxes, depreciation, and amortization/EBITDA diperkirakan naik 9,23% menjadi Rp1,538 triliun, dari perkiraan EBITDA pada tahun lalu sebesar Rp1,408 triliun.
Di lantai bursa, saham ERAA ditutup melemah 3,03% ke level Rp2.240 pada akhir perdagangan Senin (21/1/2019). Secara ytd, ERAA menguat 1,82% dengan kapitalisasi pasar Rp 7,15 triliun.
Komentar
Posting Komentar