Tren harga komoditas yang menanjak sejak awal tahun turut mengerek kinerja PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Produsen nikel ini mendulang cuan dari tingginya harga nikel akibat minimnya suplai.
Sepanjang kuartal satu lalu, INCO berhasil mencetak laba bersih US$ 6,84 juta. Di periode yang sama tahun sebelumnya, perusahaan ini mencetak rugi bersih US$ 6,16 juta.
Sejak awal tahun, harga nikel di London Metal Exchange (LME) naik 6,7% ke US$ 13.615 per metrik ton. Nikel bahkan sempat menyentuh rekor tertinggi di US$ 15.750 per metrik ton tahun ini.
Stefanus Darmagiri, analis Danareksa Sekuritas, dalam riset per 13 Juli lalu, menulis, harga penjualan rata-rata (average selling price) INCO sepanjang periode Januari-Maret 2018 naik 9% dibanding kuartal IV-2017. Kenaikan ini terjadi di tengah turunnya produksi, akibat aktivitas perbaikan teknis. "ASP yang tinggi sepertinya masih berlanjut sampai kuartal dua dan berpotensi menambah pendapatan perusahaan," terang dia.
Analis Binaartha Parama Sekuritas M. Nafan Aji menambahkan, kemampuan INCO membalik bottom line-nya juga berdampak pada harga sahamnya. Jika dihitung sejak awal tahun hingga Kamis (19/7), harga saham INCO melesat 49,8% ke Rp 4.330 per saham. "Melihat net profit di kuartal I, sepertinya sampai akhir tahun INCO akan terus cetak net profit, seiring tren harga nikel yang positif," ujar dia, Kamis (19/7).
Stefanus juga memproyeksikan harga nikel masih berpeluang terus menguat, berkat peningkatan produksi stainless steel. Menurut dia, selama ini 68% permintaan nikel dunia berasal dari kebutuhan produksi stainless steel. "Produksi stainless steel akan naik 5% yoy karena maraknya pembangunan pabrik di China dan Indonesia," papar Stefanus.
Risiko bahan bakar
Pasokan yang minim juga menjadi pendorong kenaikan nikel hingga akhir tahun. Apalagi, belum lama ini INCO mengumumkan pemberhentian investasi proyek nikelnya di Kanada dan Kaledonia Baru. "Dengan kondisi tersebut, suplai nikel global masih akan defisit dalam jangka pendek sehingga harga tetap tinggi," ujar Stefanus.
Hitungan Stefanus, harga nikel dunia akan berada di kisaran US$ 15.000 per metrik ton hingga akhir tahun. Sementara, di 2019 dan 2020, harga nikel akan mencapai US$ 16.000 dan US$ 17.000 per metrik ton.
Nafan berpendapat, kinerja INCO masih bakal meningkat, seiring perkembangan mobil elektrik di dunia maupun Indonesia. Sekadar info, INCO memproduksi nickel matte, bahan baku pembuatan baterai mobil listrik. "Secara global, animo untuk kendaraan ramah lingkungan juga makin besar," tutur dia.
Stefanus memperkirakan volume produksi nikel memang tidak akan tumbuh signifikan dari tahun lalu, yaitu sekitar 77.000-78.000 ton. Dalam dua hingga tiga tahun ke depan, baru volume produksi nikel INCO akan makin tinggi, mencapai 90.000 ton setahun.
Harga komoditas yang tinggi, di sisi lain, juga mendatangkan risiko bagi kinerja INCO. Biaya bahan bakar, seperti HSFO, diesel dan batubara, berpotensi menanjak dan menghambat kinerja. Beban bahan bakar menyumbang sekitar 29,4% dari total biaya produksi perusahaan sepanjang kuartal satu lalu.
Kendati demikian, Stefanus tetap menaikkan rekomendasi dari hold menjadi buy untuk INCO. Ia memasang target harga Rp 5.900 per saham.
Nafan juga memberi rekomendasi maintain buy untuk saham INCO, dengan target harga Rp 4.810 per saham. Adapun, Kepala Riset Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe memberi rekomendasi hold saham INCO.
Pasalnya, Kiswoyo melihat harga nikel bakal volatil di semester dua ini. Selain itu, ia menyarankan agar investor menunggu dulu hingga harga terkoreksi sebelum membeli saham INCO. Ia memasang target harga INCO sebesar Rp 4.500 per saham.
Komentar
Posting Komentar