Didominasi oleh kepemilikan asing, pasar keuangan Indonesia rentan terhadap perubahan sentimen global. Di era berkembangnya kebijakan normalisasi sektor keuangan yang dilakukan oleh negara-negara maju, terutama US, Indonesia rentan terhadap potensi masifnya capital flows jika tidak menyesuaikan suku bunganya dengan tren global. Hingga Mei-18, sebagai akibat kenaikan Treasury Yield US sebesar 55bps YTD, terjadi peningkatan capital outflow dari obligasi sebesar US$ 174 juta YTD (12M: inflow USD 5,7 miliar) dan depresiasi rupiah sebesar 4,8% YTD. Dengan optimisme investor terhadap kenaikan The Fed, kami melihat peningkatan tren capital outflow dan depresiasi Rupiah yang akan terus berlanjut, mengingat dibandingkan negara berkembang lainnya, dengan country risk premium yang relatif tinggi, real nominal rate obligasi yang berdenominasi Rupiah menjadi relatif rendah. Di sisi lain, tren historis yang menunjukkan lemahnya hubungan antara 7DRR dan pertumbuhan kredit, membuat kami meyakini mempertahankan 7-DRR di level 4,25% akan terlalu mahal harganya. Dengan demikian, kami meyakini kenaikan 7DRR sebesar 25 bps -50 bps masih tergolong kontraktif mengingat pertumbuhan kredit yang akan terus membaik paska restrukturisasi kredit yang masif di 2017. Suku bunga domestik yang sudah berada di level terendahnya sejak 2016, memberi ruang gerak yang besar untuk memitigasi resiko eksternal yang lebih besar lagi tanpa mengorbankan pertumbuhan domestik.
Perlunya menaikkan BI Rate. Tren normalisasi moneter yang dilakukan The Fed, membuat benchmark rate untuk bondsnya relatif lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini membuat investor global akan mengambil momentum untuk mendapatkan yield yang lebih menarik dengan transfer investasi mereka dari aset berdenominasi Rupiah ke aset berdenominasi Dollar, membuat Dollar terapresiasi terhadap Rupiah. Hingga Mei-18, sebagai akibat kenaikan Treasury Yield US sebesar 55bps YTD, terjadi peningkatan capital outflow sebesar US$ 174 juta YTD (12M: inflow USD5,7 miliar) dan depresiasi rupiah sebesar 4,8% YTD. Dengan optimisme investor terhadap kenaikan The Fed, kami melihat akan tren capital outflow dan depresiasi Rupiah akan terus berlanjut, mengingat dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, dengan country risk premium yang relatif tinggi, real nominal rate obligasi yang berdenominasi Rupiah relatif rendah.
Less cost to gain more stability in the long-term. Menaikkan BI rate akan memberikan sedikit tekanan pada: (1) bank, melalui tekanan terhadap cost of fund dan margin (2) shifting konsumsi kepada deposit dalam jangka pendek. Kenaikan BI rate akan disambut oleh peningkatan deposit rate. Hal ini akan membuat cost of fund bank meningkat dan net interest margin menurun, jika perbankan mempertahankan suku bunga kreditnya.. Namun, dengan resiko depresiasi dan resiko likuiditas meningkat, kami melihat kenaikan 25bps hingga 50 bps tidak terlalu kontraktif untuk perbankan yang otomatis akan menaikkan deposit rate saat resiko likuiditas meningkat.
Permasalahan perlambatan ekonomi bukan terletak pada supply-side. Penurunan BI rate tidak disambut oleh peningkatan pertumbuhan kredit. Jika dilihat dari tren historisnya,meskipun Bank Indonesia sudah berusaha menstimulus perekonomian melalui penurunan 7-Day Rate Repo sebesar 125bps semenjak tahun 2016, namun pertumbuhan kredit terus menurun (Mar-18: 8,8% YoY vs Mar-17: 9,3% YoY). Berdasarkan segmen, perlambatan paling terlihat pada pertumbuhan kredit segmen investasi (Mar-18:4,9% YoY vs Mar-17: 10,3% YoY).
Kenaikan BI rate akan mempersempit faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko perlambatan lebih besar lagi. Kenaikan BI rate akan mengurangi risiko sebagai berikut:
(1) depresiasi yang lebih besar (2) peningkatan NPL yang timbul dari debitur yang mengalami currency mismatch (3) imported inflation (4) resiko likuiditas. Depresiasi Rupiah seharusnya berdampak positif terhadap ekspor yang lebih murah dan peningkatan volume ekspor. Namun di tengah permintaan global yang masih belum tumbuh signifikan, depresiasi Rupiah akan meningkatkan tekanan pada perusahaan yang memiliki exposure yang tinggi terhadap volatilitas nilai tukar yang akan berdampak pada peningkatan NPL pada bank dan peningkatan resiko likuiditas di pasar. Selain itu, depresiasi juga akan meningkatkan resiko imported inflation di Indonesia yang masih banyak melakukan impor terhadap barang modal untuk industri, membuat biaya produksi meningkat, dan harga produk yang lebih tinggi di dalam negeri.
Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk menaikkan 7-DRR sebesar 25bps- 50bps hingga akhir 2018. Peningkatan 7-DRR akan mengurangi resiko likuiditas yang ditimbulkan oleh depresiasi Rupiah dan mengurangi resiko memburuknya depresiasi saat ini. Suku bunga domestik sudah berada di level terendahnya sejak 2016, memberikan ruang gerak yang lebih luas untuk memitigasi resiko eksternal yang lebih besar lagi tanpa mengorbankan pertumbuhan domestik.
Best Regards,
Panin Sekuritas
Komentar
Posting Komentar