Suku bunga yang murah menyebabkan emiten punya peluang pendanaan yang terbuka lebar. Pendanaan dari pinjaman bank atau surat utang bisa mengerek rasio utang emiten.
Ada beberapa saham pada indeks LQ45 memiliki debt of equity ratio (DER) di atas 100% atau 1 kali. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) mencapai DER 1,76 kali dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) memiliki DER 1,32 kali. Saham sektor konstruksi berpelat merah berasal dari PT Jasa Marga Tbk (JSMR) dengan DER 1,68 kali, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) 1,61 kali, dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) 1,36 kali.
Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra mengatakan, ada beberapa sektor perusahaan yang membutuhkan utang besar untuk membiayai bisnisnya sehingga berdampak pada naiknya DER. Ia melihat, sektor konstruksi masih wajar memiliki rasio utang di atas 1 kali dengan rasio 3 banding 1.
Artinya, DER yang mendekati tiga masih baik. "Mereka membutuhkan dana yang besar karena membangun proyek yang jangka panjang dan juga produknya sendiri cukup besar," jelasnya.
Adit bilang masalah yang harus diperhatikan adalah kemampuan emiten membayar bunga dari utang. Biasanya, DER tinggi menunjukkan ketidakmampuan pemilik modal untuk meng-cover utangnya. Utang besar biasanya diikuti dengan biaya bunga yang cukup besar.
Mesti diperhatikan utang dalam rupiah atau mata uang asing. Utang dengan mata uang asing cukup mengkhawatirkan, sebab kalau terjadi depresiasi nilai rupiah maka pembiayaan utang bisa tumbuh dua kali lipat. Investor juga perlu memperhatikan laba bersih dan arus kas operasional.
Meski demikian, hal tersebut bisa menjadi sangat positif jika laba perusahaan meningkat dua kali dari sebelumnya setelah berutang. Artinya, utang itu digunakan untuk ekspansi. "Efeknya, perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang berlipat. Kapasitasnya meningkat, penjualan meningkat, akhirnya pendapatannya juga meningkat," tutur Adit.
Jadi, tergantung dari penggunaan utang perusahaan. Sekaligus, prospek dari alokasi dana utang. Apakah berdampak positif bagi perusahaan atau justru sebaliknya. "Kalau misalnya perusahaan berutang untuk utang lagi, mereka sebenarnya suffering," imbuh Adit.
Emiten dengan DER di atas wajar menunjukkan kinerja yang buruk. Artinya, sudah tidak cukup prudent dan tidak cukup bagus untuk dijadikan satu acuan. PT Eterindo Wahanatama Tbk (ETWA) mencetak DER tertinggi yakni 38,08 kali. Diikuti PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX) 26,53 kali dan PT Ancora Indonesia Resources Tbk (OKAS) 23,26 kali.
Selain dari melihat utang dan prospeknya, perlu dicermati juga hasil kinerja keuangan. Saat ini kinerja di saham LQ45 menurut Adit masih sehat dan stabil. Namun, ada kemungkinan emiten LQ45 tertekan dari sisi bisnis dan akhirnya menekan sisi keuangannya juga. "Kita sebagai investor tetap harus maintain dan memonitor kinerja saham-saham yang kita investasikan," ujar Adit.
KONTAN
Komentar
Posting Komentar