KONTAN.CO.ID - Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) benar-benar membumi di bumi Indonesia. Setelah rights issue, 49,78 miliar saham atau setara 76% dari saham yang beredar dipegang oleh pemodal lokal. Sementara, pemodal asing hanya menggenggam 15,59 miliar atau setara 24%.
Itu posisi per Juli. Bandingkan dengan posisi Juni. Pemodal lokal memegang 21 miliar saham atau setara 57%. Artinya, ada kenaikan sekitar 137% saham yang dipegang pemodal lokal. Lalu, komposisi pemegang saham asing. Jumlahnya justru hanya 15,62 miliar saham, atau setara 43%.
Kepemilikan Credit Suisse di saham BUMI juga berkurang. Ini akibat efek dilusi pasca rights issue yang dilakukan BUMI.
Per 31 Juli lalu, Credit Suisse hanya memiliki 12,97% saham BUMI dari sebelumnya sebesar 23,14%.
Dilusi ini juga terjadi pada PT Damar Reka Energi yang sebelumnya memiliki 6,28% saham BUMI. Kini kepemilikan saham perusahaan tersebut turun menjadi dibawah 5% setelah anak usaha Grup Bakrie ini mengadakan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD).
Di sisi lain, PT Samuel International yang bertindak sebagai pembeli siaga saat HMETD BUMI pertengahan Juli lalu kini memegang 43,59% saham
Dari semua perbandingan itu terlihat, masih banyak pemodal yang masih menggenggam saham BUMI. Gambarannya, investor dari Sabang sampai Merauke semua punya saham BUMI.
Apa yang menyebabkan hal ini? Nostalgia? Mungkin saja. Atau, harapan harga saham BUMI bisa naik lagi? Logis juga.
Analis Samuel Sekuritas Muhamad Alfatih mengatakan, banyaknya investor lokal yang memegang saham BUMI tak terlepas dari panjangnya perjalanan yang dilewati saham ikon Grup Bakrie tersebut.
Pada 2008 silam, saham BUMI masih berada pada level harga Rp 8.000 per saham. Bukan hanya level harganya yang masih tinggi, tapi juga saat itu saham BUMI masuk dalam kategori saham blue chips.
"Jadi, hampir semua investor perorangan dan institusi memiliki saham BUMI," ujar Alfatih kepada KONTAN, Jumat (11/8).
Sayang, krisis 2008 menghampiri Indonesia. Saham-saham di pasar modal lokal pun berguguran, tak terkecuali saham BUMI.
Hanya butuh waktu enam bulan bagi saham BUMI terjun ke sekitar level Rp 400 per saham dari sebelumnya Rp 8.000 per saham. Penurunannya hingga 95%.
Siapa yang tidak shock melihat portofolionya turun sedalam itu hanya dalam waktu singkat. Mau jual juga takut rugi.
Harapan saham BUMI untuk kembali pada level terbaiknya saat itu juga tinggal harapan. Tekanan makro terutama sektor batubara, ditambah dengan kondisi keuangan yang tidak sehat lantaran utang yang menggunung membuat saham itu terus terjun bebas, bahkan sampai memasuki zona saham gocap.
Hasilnya, banyak investor yang pada akhirnya 'nyangkut' di saham BUMI. "Sekarang, nostalgia, masih banyak yang berharap harga saham BUMI naik lagi," imbuh Irwan Ariston Napitupulu, pengamat pasar modal yang juga sempat mencicip suka duka saat mengenggam saham BUMI.
Tapi, saham BUMI belum kehilangan pamor. Sebab, memang masih cukup banyak alasan untuk masuk ke saham BUMI selain karena alasan 'terpaksa' lantaran sudah terlanjur nyangkut.
Dari segi fundamental, BUMI memiliki cadangan batubara hampir 3 miliar ton. Itu baru yang sudah terbukti. Sebab, potensi cadangan batubara mencapai 12,6 miliar ton. Emiten batubara lokal mana yang memiliki cadangan sebesar itu dengan valuasi saham yang murah? Rasanya hanya BUMI.
Frekuensi saham BUMI juga terbilang tinggi. "Frekuensi BUMI cukup tinggi, ini membuat investor mudah masuk mudah keluar," tambah Ariston.
Jadi, selain fundamental, volatilitas juga menjadi alasan tambahan untuk masuk ke saham BUMI.
Sejak awal tahun, sentimen restrukturisasi utang juga kembali membuat saham BUMI kembali naik. Bahkan, saham BUMI keluar dari zona saham gocap hingga menuju level sekitar Rp 500 per saham.
Memang, setelah rights issue saham BUMI kembali menuju level sekitar Rp 300. Pada perdagangan akhir pekan ini saja saham BUMI juga kembali turun 2,3% ke level Rp 376 per saham.
"Tapi, aksi korporasi kemarin membuat harapan baru bagi investor," pungkas Alfatih.
ref. kontan.co.id
Komentar
Posting Komentar