KONTAN.CO.ID - Tak selamanya saham blue chips memberikan return memuaskan. Secara year to date (ytd), dari 10 saham keping biru, tiga di antaranya justru memberikan return di bawah kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) alias underperform.
Tiga saham itu adalah saham PT Astra International Tbk (ASII), PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP). Sejak awal tahun hingga Rabu (16/8) lalu atau year-to-date (ytd), harga saham GGRM tumbuh 11,03%, sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan IHSG sebesar 11,24%. Di periode sama, harga saham HMSP dan ASII malah minus (lihat Harian KONTAN, Jumat 18 Agustus 2017).
Kepala Riset BNI Sekuritas Norico Gaman menilai, saham yang underperform menerima konsekuensi kenaikan dini sejak awal tahun. "Harga sahamnya sudah naik tinggi lebih dahulu, sehingga banyak investor melakukan profit taking," ujar dia kepada KONTAN, Rabu (16/8).
Memang, saham underperform tersebut sudah sempat mencetak rekor tertinggi sejak awal tahun. ASII misalnya, harga sahamnya sempat berada di level tertinggi Rp 9.150 per saham pada Juni.
Lalu GGRM sempat mencatat level tertinggi Rp 81.300 pada Juli. Sementara HMSP mencatat rekor tertingginya di level Rp 4.090 per saham, Maret lalu.
Secara valuasi, ketiga saham ini juga relatif lebih mahal ketimbang saham blue chips lainnya. Sehingga, dari sudut pandang ini saham tersebut terbilang cukup layak untuk dijual.
Ambil contoh ASII. Mengacu data Bloomberg, price to earning ratio (PER) dan price to book value(PBV) saham ini di level 18,25 kali dan 2,72 kali. GGRM memiliki PER dan PBV masing-masing 19,69 kali dan 3,63 kali. HMSP memiliki PER 33,98 kali dan PBV 15,52 kali.
Valuasi ketiga saham ini lebih mahal dibandingkan UNTR, yang kinerjanya paling outperform dari 10 saham jumbo. PER dan PBV UNTR masing-masing 17,02 kali dan 2,61 kali. Profit taking juga dipicu oleh faktor kinerja. Hal ini terjadi pada HMSP.
Analis NH Korindo Sekuritas Joni Wintarja mencatat, HMSP sejak kuartal IV-2011 selalu mencatat pertumbuhan penjualan. "Namun pada kuartal kedua tahun ini, secara mengejutkan tren itu berakhir," tulis dia dalam riset 7 Agustus lalu.
Pada periode itu, HMSP membukukan pendapatan Rp 24 triliun, turun 6% dibanding dengan periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 25,4 triliun. Penurunan kinerja antara lain dipicu menyusutnya pasar sigaret kretek mesin (SKM) secara industri. Sebesar 67% pendapatan HMSP berasal dari segmen ini.
Namun HMSP masih memimpin pasar rokok di Indonesia dengan pangsa pasar 32,8%. Joni juga memperkirakan, pertumbuhan penjualan di kuartal III-2017 akan berbalik menjadi positif. "HMSP memiliki kekuatan pemasaran yang kreatif serta kontrol harga yang kuat sebagai pemimpin pasar," ujar Joni.
Kendati terdapat posisi underperform, mayoritas saham blue chips masih mampu outperform terhadap IHSG. Jika dibandingkan return sejak awal tahun dan paruh waktu 2017, trennya justru malah meningkat. "Kalau fundamental dan kondisi keuangan emiten bagus tapi harganya terkoreksi, ini justru menjadi peluang untuk melakukan akumulasi beli," jelas Norico.
UNVR, misalnya. Harga saham barang konsumer ini mencapai Rp 49.350 per saham. Ini adalah harga tertinggi UNVR sepanjang tahun ini.
Saham BBCA juga sama. Posisinya saat ini Rp 18.900 per saham. Sebelum mencapai level ini, harga saham bank swasta ini sempat mencapai level Rp 19.000 per saham. Ini merupakan harga tertinggi BBCA tahun ini.
Kinerjanya juga menarik. Bank milik Grup Djarum ini hingga semester I-2017 membukukan laba Rp 10,5 triliun, tumbuh 10% (yoy). BBCA menjadi salah satu saham pilihan BNI Sekuritas. Norico merekomendasikan buydengan target Rp 20.000 per saham.
Komentar
Posting Komentar